Sebulan
sebelum puasa, Ayah bilang “setiap minggu pada bulan Ramadhan besok, Ayah mau
ke Al-fithrah, shalat tarawih di sana”
…..
Siang
hari. Tak seperti biasanya, aku sangat lelah dan ingin cepat-cepat terlelap.
Akan tetapi, baju kotor masih banyak. Tak biasanya, saya membiarkan baju kotor
menggunung di keranjang. Hari ini, saya malas sekali. Mau buka handphone, tapi
tidak punya pulsa maupun paket internet. Handphone saya matikan, karena baterai
habis. Sambil menunggu baterai penuh, saya tidur di depan tv bersama anak-anak.
Saya tidur pukul 14.00-17.00. Saya terbangun karena ingat bahwa saya belum
sholat ashar.
Sambil
menunggu adzan, saya memainkan handphone yang tidak bisa dibuat apa-apa itu.
adzan maghrib sudah terdengar, semuanya bersiap-siap untuk sholat. Sholat
maghrib pun selesai seperti biasanya. Tiba-tiba jantung ini berdetak begitu
cepat, rasanya ingin sekali buka handphone. Tapi di handphone tidak ada
tanda-tanda pesan penting apapun. “nanti sajalah beli paketan internetnya”
pikir saya. Sholat isya segera dilaksanakan.
Usai
sholat isya, saya meminta tolong ustadzah lainnya untuk memberikan tethering
internet untuk handphone saya. Ternyata 21 panggilan masuk. Tumben sekali. Saya
buka pesan satu persatu.
Tubuhku
melemas ketika ada pesan masuk yang bertuliskan “Ayah masuk rumah sakit, ayah
sakit stroke”. Tidak biasanya. Tidak pernah sebelumnya. Ayah tidak mempunyai
riwayat yang serius sebelumnya. Seketika itu, tubuh saya tidak kuat untuk
berdiri. Saya diantar Ustadzah Fitri pergi ke rumah sakit di Gresik. Saya
berangkat pukul 20.00 dan sampai di rumah sakit pukul 21.30 WIB.
Saya
langsung masuk ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) mencari nama Ayah saya.
Ternyata ayah saya berada di ruangan kuning, itu tandanya waspada. Semakin
tidak tertahan air mata ini. Semakin deras manakala ada bibi dan paman menepuk
pundak untuk menenangkan.
Ibu
saya memeluk saya dan berkata “Ayah pasti sembuh, jangan menangis di hadapan
Ayah” pinta Ibu. Aku pun meng-iyakan dan mulai masuk menemui Ayah. Tubuh saya
mengaku, karena menahan tetesan air mata yang mau keluar. Ayah tahu kalau saya
menangis. Tapi Ayah tak pernah tahu aku menangis ketika di hadapannya.
Saat
itu kondisi Ayah kritis, tekanan darahnya masih naik turun. Tekanan darah Ayah
yang mulanya 210 kini sudah menjadi 170 dan kadang naik lagi. Alhamdulillah
tekanan darah Ayah sedikit demi sedikit mulai turun. Tubuh Ayah sebelah kiri
mati sebelah. Aku berpikir aku masih belum siap kalau Ayah diambil sekarang.
Apapun bacaan amalan dari Romo Yai saya baca supaya Ayah cepat sembuh. Mau
bangun saja, Ayah tak bisa. Harus dengan bantuan orang lain. Buang air kecil
juga dibantu menggunakan alat. Saya mulai berpikir yang tidak-tidak.
Astaghfirullah…
Semua
datang mengunjungi Ayah di rumah sakit, saudara Ayah, para tetangga,
teman-teman Ayah semuanya menjenguk ke rumah sakit. Setiap orang yang datang
pasti menangis. Saya selalu marah ketika ada orang yang menangis. Karena ketika
mereka menangis, saya pun menangis. Saya selalu ingat apa yang dibilang Ibu
“Jangan menangis”.
Saya
anak pertama. Bagaimana cara berpikir seorang anak pertama? Semua yang menjadi
anak pertama pasti tahu apa yang saya pikirkan. Sebelumnya saya pernah
mengatakan “Yah, aku mau S2 ya..” pintaku.
“Berapa
biayanya?” tanya Ayah.
“Nggak
tau, tapi cari beasiswa dulu yah” jawab saya.
(Ayah
tak menjawab)
Saya
hanya berpikiran “apa gara-gara kalimat itu, Ayah jadi kepikiran?”
Saat
selesai makan, saya mencoba bilang ke Ayah “Yah, aku tidak jadi ambil S2 nya”
“kenapa?”
tanya Ayah.
“udah
males yah, udah gak minat. Besok-besok aja kalau minat lagi” jawab saya.
“jangan,
S2 saja” pinta Ayah
Waktu
mengajar saya penuh ditambah lagi dengan kegiatan di asrama yang padat.
Sebenarnya itu tidak jadi masalah, karena jam bisa saya bicarakan lagi dengan
kepala sekolah. Tak sampai bilang dan berdiskusi tentang itu. Ayah saya sudah
sakit. Rencananya saya membiayai kuliah saya dengan uang saya sendiri yang
sudah saya dapat dari hasil mengajar. InsyaAllah cukup. Tapi hal lain terjadi.
Ayah sudah tidak bisa bekerja. Otomatis, akulah yang harus menanggung semuanya
kebutuhan ditambah obat Ayah yang harganya lumayan. Setitik pun saya tidak
merasa keberatan dengan hal ini. Yang penting Ibu dan Ayah saya bahagia, sudah
cukup bagi saya. Kuliah S2 bisa kapan saja. Apapun akan saya berikan untuk
mereka berdua, dan untuk masa depan adik saya.
Ketika
Ayah sakit, Ayah selalu saya bawakan air dari pesareannya Romo Yai, kata ustadz
“coba sampean bawakan supaya dapat barokahnya Yai”. Saya menurut saja. Saya
hanya ingin Ayah saya sembuh dan sehat kembali.
Pulang
dari Surabaya saya berikan botol yang berisi air tadi untuk diminum Ayah.
Tiba-tiba Ayah saya bilang “air ini lebih segar dari yang lain (sambil menunjuk
air pesarean dari Romo Yai”. Ayah tidak pernah tahu kalau itu air Romo Yai,
tapi Ayah selalu bisa merasakan dan selalu bilang air itu lebih segar daripada
air yang lainnya. Akhirnya saya cerita kalau air itu mengambil dari pesareannya
Romo Yai.
Saat
di rumah sakit, Ayah sering kali mimpi bertemu Romo Yai. Ayah menceritakan
ciri-ciri Romo Yai. Sebelumnya Ayah bukan jamaahnya Romo Yai. Ayah bergabung
semenjak saya masuk Al-fithrah. Ayah bercerita, di dalam mimpi Ayah, Ayah
diberikan do’a oleh Romo Yai. Romo Yai membacakan do’a yang sangat panjang di
hadapan Ayah langsung. Merinding langsung mendengar cerita Ayah. Ayah bahkan
tidak tahu menahu wajah Romo Yai. Tapi Ayah menceritakan begitu detail. Itu
mimpi pertama. Yang kedua, Ayah kembali bermimpi. Ayah didatangi Romo yai
bersama empat murid dibelakangnya lewat depan ruangan Ayah. Dan tiga mimpi
lainnya yang bertemu dengan Romo Yai lagi.
Setelah
keluar dari rumah sakit. Ayah mengikuti terapi dan kontrol rutin. Ayah memilih
terapi di rumah saja dengan dibantu ahli urat. Alhamdulillah tanpa disangka,
Ayah bisa berdiri dan sedikit demi sedikit mulai berjalan. Aku yang tidak
berada di rumah, dikirim video Ayah berjalan rasanya tidak menyangka secepat
ini Ayah bisa berjalan. Rasa syukur tak henti-hentinya terucap. Kini Ayah sudah
bisa berjalan lagi. Saya pun mulai melakukan aktivitas mengajar seperti
biasanya. Tapi kali ini, saya harus pulang setiap minggunya, karena obat Ayah
yang harus dibeli. Setiap pergi ke Surabaya, Ayah selalu memesan “jangan lupa
bawakan air pesareannya Romo Yai”.
Sakit
stroke Ayah ini terbilang cepat diantara yang lainnya. Karena 3 minggu Ayah
sudah bisa berjalan lagi, meskipun jalannya tidak seperti dulu. Semua ini tak
luput dari pertolongan Allah SWT lewat orang yang memijat Ayah dan dari
barokahnya Romo Yai juga. Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad…
0 komentar:
Posting Komentar