Ikrima's Blog

Minggu, 16 Juni 2019

Cinta Pertamaku


Sebulan sebelum puasa, Ayah bilang “setiap minggu pada bulan Ramadhan besok, Ayah mau ke Al-fithrah, shalat tarawih di sana”
…..
Siang hari. Tak seperti biasanya, aku sangat lelah dan ingin cepat-cepat terlelap. Akan tetapi, baju kotor masih banyak. Tak biasanya, saya membiarkan baju kotor menggunung di keranjang. Hari ini, saya malas sekali. Mau buka handphone, tapi tidak punya pulsa maupun paket internet. Handphone saya matikan, karena baterai habis. Sambil menunggu baterai penuh, saya tidur di depan tv bersama anak-anak. Saya tidur pukul 14.00-17.00. Saya terbangun karena ingat bahwa saya belum sholat ashar.
Sambil menunggu adzan, saya memainkan handphone yang tidak bisa dibuat apa-apa itu. adzan maghrib sudah terdengar, semuanya bersiap-siap untuk sholat. Sholat maghrib pun selesai seperti biasanya. Tiba-tiba jantung ini berdetak begitu cepat, rasanya ingin sekali buka handphone. Tapi di handphone tidak ada tanda-tanda pesan penting apapun. “nanti sajalah beli paketan internetnya” pikir saya. Sholat isya segera dilaksanakan.
Usai sholat isya, saya meminta tolong ustadzah lainnya untuk memberikan tethering internet untuk handphone saya. Ternyata 21 panggilan masuk. Tumben sekali. Saya buka pesan satu persatu.
Tubuhku melemas ketika ada pesan masuk yang bertuliskan “Ayah masuk rumah sakit, ayah sakit stroke”. Tidak biasanya. Tidak pernah sebelumnya. Ayah tidak mempunyai riwayat yang serius sebelumnya. Seketika itu, tubuh saya tidak kuat untuk berdiri. Saya diantar Ustadzah Fitri pergi ke rumah sakit di Gresik. Saya berangkat pukul 20.00 dan sampai di rumah sakit pukul 21.30 WIB.
Saya langsung masuk ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) mencari nama Ayah saya. Ternyata ayah saya berada di ruangan kuning, itu tandanya waspada. Semakin tidak tertahan air mata ini. Semakin deras manakala ada bibi dan paman menepuk pundak untuk menenangkan.
Ibu saya memeluk saya dan berkata “Ayah pasti sembuh, jangan menangis di hadapan Ayah” pinta Ibu. Aku pun meng-iyakan dan mulai masuk menemui Ayah. Tubuh saya mengaku, karena menahan tetesan air mata yang mau keluar. Ayah tahu kalau saya menangis. Tapi Ayah tak pernah tahu aku menangis ketika di hadapannya.
Saat itu kondisi Ayah kritis, tekanan darahnya masih naik turun. Tekanan darah Ayah yang mulanya 210 kini sudah menjadi 170 dan kadang naik lagi. Alhamdulillah tekanan darah Ayah sedikit demi sedikit mulai turun. Tubuh Ayah sebelah kiri mati sebelah. Aku berpikir aku masih belum siap kalau Ayah diambil sekarang. Apapun bacaan amalan dari Romo Yai saya baca supaya Ayah cepat sembuh. Mau bangun saja, Ayah tak bisa. Harus dengan bantuan orang lain. Buang air kecil juga dibantu menggunakan alat. Saya mulai berpikir yang tidak-tidak. Astaghfirullah…
Semua datang mengunjungi Ayah di rumah sakit, saudara Ayah, para tetangga, teman-teman Ayah semuanya menjenguk ke rumah sakit. Setiap orang yang datang pasti menangis. Saya selalu marah ketika ada orang yang menangis. Karena ketika mereka menangis, saya pun menangis. Saya selalu ingat apa yang dibilang Ibu “Jangan menangis”.
Saya anak pertama. Bagaimana cara berpikir seorang anak pertama? Semua yang menjadi anak pertama pasti tahu apa yang saya pikirkan. Sebelumnya saya pernah mengatakan “Yah, aku mau S2 ya..” pintaku.
“Berapa biayanya?” tanya Ayah.
“Nggak tau, tapi cari beasiswa dulu yah” jawab saya.
(Ayah tak menjawab)
Saya hanya berpikiran “apa gara-gara kalimat itu, Ayah jadi kepikiran?”
Saat selesai makan, saya mencoba bilang ke Ayah “Yah, aku tidak jadi ambil S2 nya”
“kenapa?” tanya Ayah.
“udah males yah, udah gak minat. Besok-besok aja kalau minat lagi” jawab saya.
“jangan, S2 saja” pinta Ayah
Waktu mengajar saya penuh ditambah lagi dengan kegiatan di asrama yang padat. Sebenarnya itu tidak jadi masalah, karena jam bisa saya bicarakan lagi dengan kepala sekolah. Tak sampai bilang dan berdiskusi tentang itu. Ayah saya sudah sakit. Rencananya saya membiayai kuliah saya dengan uang saya sendiri yang sudah saya dapat dari hasil mengajar. InsyaAllah cukup. Tapi hal lain terjadi. Ayah sudah tidak bisa bekerja. Otomatis, akulah yang harus menanggung semuanya kebutuhan ditambah obat Ayah yang harganya lumayan. Setitik pun saya tidak merasa keberatan dengan hal ini. Yang penting Ibu dan Ayah saya bahagia, sudah cukup bagi saya. Kuliah S2 bisa kapan saja. Apapun akan saya berikan untuk mereka berdua, dan untuk masa depan adik saya.
Ketika Ayah sakit, Ayah selalu saya bawakan air dari pesareannya Romo Yai, kata ustadz “coba sampean bawakan supaya dapat barokahnya Yai”. Saya menurut saja. Saya hanya ingin Ayah saya sembuh dan sehat kembali.
Pulang dari Surabaya saya berikan botol yang berisi air tadi untuk diminum Ayah. Tiba-tiba Ayah saya bilang “air ini lebih segar dari yang lain (sambil menunjuk air pesarean dari Romo Yai”. Ayah tidak pernah tahu kalau itu air Romo Yai, tapi Ayah selalu bisa merasakan dan selalu bilang air itu lebih segar daripada air yang lainnya. Akhirnya saya cerita kalau air itu mengambil dari pesareannya Romo Yai.
Saat di rumah sakit, Ayah sering kali mimpi bertemu Romo Yai. Ayah menceritakan ciri-ciri Romo Yai. Sebelumnya Ayah bukan jamaahnya Romo Yai. Ayah bergabung semenjak saya masuk Al-fithrah. Ayah bercerita, di dalam mimpi Ayah, Ayah diberikan do’a oleh Romo Yai. Romo Yai membacakan do’a yang sangat panjang di hadapan Ayah langsung. Merinding langsung mendengar cerita Ayah. Ayah bahkan tidak tahu menahu wajah Romo Yai. Tapi Ayah menceritakan begitu detail. Itu mimpi pertama. Yang kedua, Ayah kembali bermimpi. Ayah didatangi Romo yai bersama empat murid dibelakangnya lewat depan ruangan Ayah. Dan tiga mimpi lainnya yang bertemu dengan Romo Yai lagi.
Setelah keluar dari rumah sakit. Ayah mengikuti terapi dan kontrol rutin. Ayah memilih terapi di rumah saja dengan dibantu ahli urat. Alhamdulillah tanpa disangka, Ayah bisa berdiri dan sedikit demi sedikit mulai berjalan. Aku yang tidak berada di rumah, dikirim video Ayah berjalan rasanya tidak menyangka secepat ini Ayah bisa berjalan. Rasa syukur tak henti-hentinya terucap. Kini Ayah sudah bisa berjalan lagi. Saya pun mulai melakukan aktivitas mengajar seperti biasanya. Tapi kali ini, saya harus pulang setiap minggunya, karena obat Ayah yang harus dibeli. Setiap pergi ke Surabaya, Ayah selalu memesan “jangan lupa bawakan air pesareannya Romo Yai”.
Sakit stroke Ayah ini terbilang cepat diantara yang lainnya. Karena 3 minggu Ayah sudah bisa berjalan lagi, meskipun jalannya tidak seperti dulu. Semua ini tak luput dari pertolongan Allah SWT lewat orang yang memijat Ayah dan dari barokahnya Romo Yai juga. Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad…

0 komentar:

Posting Komentar