Ikrima's Blog

Minggu, 16 Juni 2019

Ternyata, Jodohku di sini!

Setelah lulus kuliah, saya bingung. Mau dikemanakan arah, keinginan dan tujuan hati ini. Alhamdulillah puji syukur karena saya lulus 3,5 tahun, Allah SWT memberikan saya waktu untuk berpikir. Saya mencoba apa yang saya bisa, waktu itu pendaftaran S2 belum dibuka. Akhirnya saya melamar pekerjaan mengajar sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah di berbagai Madrasah atau Sekolah Dasar di Surabaya. Saya asal dan lahir di Gresik, sejak kuliah saya merantau ke Surabaya. Yang menjadikan alasan saya untuk melamar pekerjaan di Surabaya karena saya ingin punya pengalaman di lain tempat, jauh dari orang tua bukan penghalang karena saya bisa pulang meskipun rasa rindu selalu menghampiri… Selalu. Rindu yang tak tau waktu, tak tau tempat, selalu hinggap. Kadang saya kesal. Karena setiap rindu, darah putih ini menetes dari tempatnya yang indah.
Dimanapun dan lembaga apapun yang menerima saya itulah yang terbaik dan saya akan pilih…
Al-fithrah.
Saya mendapat pesan dari Al-fithrah. Akhirnya setelah beberapa waktu, saya dipanggil untuk mengikuti tes. Akhirnya saya datang untuk mengikuti tes. Saya datang dari arah kampus, dengan google map saya menemukan sekolahnya. “sekolahnya besar sekali” dalam hati bicara sendiri. Saya masuk melewati pagar, pak satpam menyapa dengan tersenyum.
“Mari pak” saya menyapa.
“Mari ustadzah” sapa pak satpam kembali.
Dalam hati bicara “ohh jadi kalau di sini di panggil ustadzah, bagaimana kalau saya nanti diterima?. Memang kata ustadzah dalam Bahasa Indonesia berarti guru. Tapi saya pikir panggilan ustadzah tidak cocok dengan saya, saya masih belum paham tentang agama. Saya tidak pernah menempuh pendidikan di pondok walaupun di rumah pernah mengaji dengan ustadz di kampung. Tapi kan berbeda kalau di pondoknya langsung”
Sempat ragu, tapi saya berpikir ini adalah kesempatan tertunda saya dulu waktu Aliyah atau biasanya disebut Sekolah Menengah Atas (SMA). Akhirnya saya memasuki ruang kantor Thoriqoh Pondok. “Assalamualaikum ustadz” saya salam dengan tersenyum kepada ustadz di dalam ruang kantor. “Mbak Ikrima ya? Yang mau tes? Ditunggu yang lainnya dulu ya mbak” kata ustadznya. Saya masih belum tahu nama ustadz tadi. Akhirnya saya duduk di depan ruangan, menunggu yang lainnya yang mengikuti tes hari ini.
Setengah jam kemudian… Bagi saya, waktunya sangat molor sekali dari perkiraan. Saya sedikit tidak suka dan sedikit merubah kondisi hati saya karena saya terbiasa disiplin dalam hal waktu. Tes ini ada 3 macam: tes wawancara, tes mengaji dan tes mengajar di kelas. Saya mendapatkan urutan terakhir untuk tes wawancara. Sempat menggerutu “mengapa tidak berdasarkan kehadiran yang lebih awal saja?”. Waktu itu saya sangat bosan. Yang saya lakukan hanya duduk-duduk melihat santri-santri lewat ke sana ke mari. Main hape. Ngobrol-ngobrol dengan yang lainnya supaya saling kenal.
Akhirnya giliran saya wawancara. Saya masuk ke dalam ruang kantor. Ustadznya tersenyum. Dalam hati “ustadznya senyum-senyum, saya sudah menunggu kehadiran peserta tes yang lain sudah setengah jam ditambah menunggu giliran masuk untuk tes wawancara”. Di luar sangat panas karena letak pondok Al-fithrah dekat dengan laut membuat saya sedikit jengkel”
Ustadz mulai menyuruh saya memperkanalkan diri. “seperti wawancara biasanya saya menyebutkan nama dan latar belakang saya”
Kemudian ustadz menanyakan apa kelebihan saya. Saya menjawab “saya terbiasa disiplin ustadz”.
Ustadz pun balik bertanya “tadi nunggunya lama ya?, waktunya molor sekali”.
Saya hanya tersenyum.
“saya minta maaf ya mbak (sambil tersenyum, ustadznya memberikan saya air putih) ini tanda minta maafnya ya mbak, tadi tidak ada yang dikasih air putih loh mbak (sambil senyum-senyum sendiri)”.
“terimakasih ustadz” jawab saya.
Saya kembali ditanya “ini apa mbak kok djarum? Mbak pernah kerja di djarum?”
“bukan tadz.. itu beasiswa yang pernah saya dapat” jawab saya bersemangat. Entah kenapa saya selalu bersemangat ditanya tentang beasiswa ini. Karena di djarum lah saya mengenal orang-orang hebat. Mendapatkan pengalaman yang luar biasa sekali.
“gimana mbak itu kok bisa dapat? tirakatnya apa mbak?”
(saya sedikit tertawa lepas, lalu saya tahan supaya tidak bertambah keras karena masih dalam tes wawancara)
“pertanyaan lagi ya mbak? ini sertifikat apa mbak?” (sambil menunjukkan fotokopi sertifikat yang berada di tangan ustadznya.
“itu sertifikat lomba debat ustadz, kelompok saya menjadi juara debat di acara pelatihan Djarum Foundation”
“waduh, saya jadi takut kalau begitu. Kita akhiri saja wawancaranya, saya takut debat dengan mbaknya. Cara ngomongnya saja sudah menakutkan”
(saya semakin ketawa). Ternyata wawancaranya seru.
Setelah selesai, saya menuju keluar pintu untuk segera ke MI nya. Untuk tes mengajar. Akan tetapi saya di panggil seorang ustadz untuk melakukan wawancara lagi dengan kepala pondok. Saya ditanya.
“asli mana mbak?” tanya ustadznya.
“Gresik ustadz” jawab saya
“Gresik mana? Istri saya juga Gresik” ustadznya menjelaskan.
“Saya Benjeng ustadz” sambil tersenyum.
“Benjeng itu banyak jamaahnya Romo Yai”
(Aku merengut, berpikir “jama’ah itu apa? Jama’ah sholat? Romo Yai? Siapa Romo Yai? Saya sama sekali tidak tahu dan asing dengan kata tersebut, akhirnya saya hanya membalas senyuman).
“Sampean tahu pendiri pondok ini siapa?”
(waduh siapa ya, dan secara tidak sadar, benar-benar tidak menyangka bibir ini berkata) “Yai Rori” Saya tidak tahu nama panjang Yai Rori itu siapa. Saya hanya pernah dengar nama itu.
Tiba-tiba ustadz yang mewawancarai manggut-manggut setuju dengan jawaban saya.
Saya kembali bertanya “loh, apa benar ustadz?”
“benar” jawa ustadz.
Setelah selesai wawancara saya mengingat-ingat kembali, bagaimana saya bisa langsung menyebut nama Yai Rori. Saya tidak tahu Yai Rori itu siapa sebelumnya.
Saya pun pulang.
Dalam 2 minggu saya menunggu pesan dari al-fithrah apakah saya diterima atau tidak. Tapi tidak kunjung mendapatkan kabar baik. Akhirnya saya berpikir untuk mengambil formulir pendaftaran S2 saja. Dua hari setelahnya, ternyata saya mendapat pesan lagi bahwa saya diterima di Al-fithrah.
Perasaan campur aduk kini kembali membuat pusing kepala. Bagaimana dengan S2 saya ini? Akhirnya saya bertanya ke ibu dan ayah saya. “Mondoklah, biar dekat dengan Sang Pencipta”. Selama ini saya belum pernah merasakan suasana dan belajar di pondok. Saya akhirnya manut dengan ayah dan ibu. Semoga ini pilihan terbaik. S2 bisa kapanpun.
Tahun ajaran baru datang. Asaatidz dan asaatidzah berkumpul untuk menyiapkan rencana pembelajaran ajaran baru. Saya mengikuti dengan menyimak. Ini rapat pertama saya. Saya selalu bertanya apa-apa yang tidak saya pahami tentang MI nya, tentang pondoknya, bahkan saya ingin tahu tentang Romo Yai lebih dalam.
“Nama Pondok ini ternyata sudah saya kenal sebelumnya, tetapi saya tidak tahu di mana tempatnya. Saya pernah ikut haul di pondok sini, tapi saya tidak tahu pondoknya di sebelah mana, karena waktu itu saya duduk ngemper di warung dekat gang. Setelah acara selesai saya langsung pulang. Karena jumlah orang-orang yang mengikuti haul luar biasa padatnya. Membuat saya wegah kesana kemari dan memutuskan untuk pulang saja bersama teman saya. Sejak saat itulah saya tidak ikut haul lagi, karena wegah”.
Sedikit cerita saya ke ustadzah Elis, Ustadzah MI. “itu yang namanya jama’ah dzah Rima. Jama’ah itu adalah pengikut ajarannya Romo Yai, ikut Haul, dan lain sebagainya”. Saya sedikit flashback pada saat tes wawancara “ohalah, ini toh yang namanya jama’ah” saya masih agak sedikit kaku apabila saya dipanggil dengan sebutan ustadzah. Tapi mencoba membiasakan.

AHAD KEDUA
“Ahad kedua itu apa ustadzah?” Tanya saya kepada ustadzah Elis.
Ustadzah Elis yang sering sekali saya tanya tentang apapun kegiatan di pondok. Alhamdulillah beliau tidak pernah bosan menjawab, justru terlihat bahagia dan haru untuk menceritakan tentang pondok maupun tentang Romo Yai.
“Ahad kedua itu minggu kedua pada bulan menurut kalender Islam, tapi tidak setiap bulan. Ahad kedua ini hanya empat kali dalam setahun” Ustadzah Elis menjelaskan.
Dan kebetulan pada saat masuk mengajar di Al-fithrah bertepatan dengan adanya ahad kedua. Saya pun mengikuti bersama anak-anak dan para ustadzah lainnya. Setelah diterima di Al-rithrah, saya ditempatkan di asrama mengasuh anak-anak MI yang mondok di asrama. Kami berjalan menuju masjid bagian perempuan. Supaya tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan, maka diberi sket atau pemisah yang terbuat dari besi dan ditutup kain putih. Di pondok sini memang ciri khas dengan warna putih. Saya bertanya-tanya “mengapa warna putih? Padahal Rasulullah sangat suka sekali dengan warna hijau”
Dijelaskan sedikit oleh seorang ustadz yang pernah saya tanya-tanya tentang ilmu agama. Dalam hidupnya Rasulullah SAW sangat menyukai warna hijau, Rasulullah SAW juga sering sekali memakai surban berwarna hijau. Oleh karena itu, untuk menghormati Kanjeng Rasul, maka para Ulama’ ada beberapa yang tidak mau memakai surban hijau. Karena menghormati Kanjeng Rasul.
Saya selalu bertanya dengan ustadz maupun ustadzah di pondok, tapi jawabannya selalu sama “ciri khas dan nderek (bahasa Indonesia: ikut) Yai ” saya masih belum puas, saya kira itu bukan jawaban dari pertanyaan yang saya maksud. Suatu ketika saya mendengarkan mauidhoh atau ceramah dari KH. Abdul Kholiq Hasan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amanah Jombang. Beliau menjelaskan tentang pakaian putih.
“Tatkala sahabat-sahabat Rasulullah duduk-duduk di sekitar rasulullah. Pada suatu hari tiba-tiba datang seorang laki-laki di tengah-tengah para sahabat yang memakai pakaian yang sangat putih (inilah yang kemudian para ulama’ atau kyai ada yang fanatik dengan warna putih apabila pergi ke majlis ta’lim) dan sangat hitam rambutnya. Tidak dilihat dari mana orang itu datang dan tidak ada salah satu pun dari para sahabat yang mengenalnya. Sehingga laki-laki asing itu duduk di dekat Rasulullah SAW, kemudian merapatkan kedua lututnya dan bersentuhan dengan rasullah SAW. Dan meletakkan kedua tangannya di atas pupu atau paha Rasulullah SAW. Dalam ilmu tasawuf ada yang berpendapat bahwa laki-laki asing tersebut mentransfer ilmu. Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah SAW apa itu iman? Apa itu islam dan apa itu ihsan? Kemudian semuanya dijawab oleh Rasulullah SAW. Setelah Rasulullah SAW menjawab, lelaki itu berkata “shodaqta, kamu benar” entah apa maksud laki-laki itu bertanya seperti itu padahal sepertinya lelaki itu sudah mengetahui jawabannya.”
Inilah alasan mengapa Romo KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi ra. sering menggunakan pakaian putih, sebab lain yaitu karena Romo Yai sendiri suka dengan warna putih. Putih memiliki arti netral, suci dan sederhana. Di balik itu Romo Yai mengajarkan kita agar mempunyai sifat sederhana dalam hati agar ketika beribadah hati bisa ditata dengan khusyu’.
Setelah sampai di masjid dengan kubah yang berwarna biru dan yang tak berpintu. Saya, asaatidzah dan anak-anak duduk berbaris memenuhi shaf di masjid. Setelah acara selesai, saya menemui ibu dan ayah saya yang juga mengikuti Ahad kedua ini. Saya duduk di samping ibu. Ayah saya berada di masjid dan ibu saya saat itu berada di lapangan karena masjid sudah penuh oleh jama’ah. Sambil cerita tentang kegiatan baru yang saya lakukan di Al-fithrah, saya juga mendengarkan mauidhoh dari Habib Quraish Baharun.
Habib Quraish bercerita, “sebelum saya berangkat ke sini, ke Pondok Pesantren Assalafi Al-fithrah Surabaya. Saya mimpi bertemu dengan Hadrotusy Syaikh Ahmad Asrori Al-ishaqi ra. beliau menyampaikan kepada saya supaya jangan putus membaca Sholawat Husainiyah. Apabila kamu tidak sempat atau tidak bisa membacanya, maka bawalah. InsyaAllah Barokah.” Singkat cerita dari Habib Quraish membuat saya ingin tahu apa itu Sholawat Husainiyah? Dan Bagaimana bentuknya?
Saya kembali bertanya lagi kepada Ustadzah Elis “Ustadzah, Sholawat Husainiyah itu yang bagaimana?”
Ustadzah Elis mengambilkan Sholawat Husainiyah “Ini dzah Rima, Sholawat Husainiyah itu ini, membacanya dari sini sampai selesai”
Saya diberikan Ustadzah Elis Sholawat Husainiyah tapi saya menolak “besok saja lah dzah, saya bacanya. Saya lagi males” jawab saya jujur.
Keesokan harinya, Hari Senin, setelah pulang sekolah. Seperti biasa asaatidz dan asaatidzah semuanya nderes qur’an (Bahasa Indonesia: baca simak al-qur’an). Setelah selesai nderes qur’annya, tibalah hati saya terketuk ingin membaca Sholawat Husainiyah.
Di rak-rak al-qur’an kantor MI terdapat beberapa Sholawat Husainiyah, tanpa pikir panjang saya membaca Sholawat Husainiyah sesuai yang sudah diberitahukan Ustadzah Elis kemarin malam. Saya baca dengan tenang, karena di kantor juga sudah sepi. Saya baru pertama kali membacanya, kalimat-kalimatnya bagi saya susah untuk dibaca cepat. Akhirnya saya baca pelan saja. Hingga halaman akhir saya mengucap alfaatihah.
Saya letakkan kembali Sholawat Husainiyah di tempat rak kantor. Saya mengambil tas dan keluar dari kantor menuju asrama untuk beristirahat sebentar. Tiba di asrama saya ngobrol-ngobrol sedikit dengan asaatidzah di asrama sampai tidak sadar saya pun tertidur pulas.
Dalam tidur, saya bermimpi dengan dua orang. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Dua orang tersebut mengajak saya ke suatu tempat seperti masjid. Akan tetapi masjid tersebut sepi, tidak ada satupun orang kecuali kita bertiga. Dua orang tadi menarik tangan saya. “mau diajak ke mana saya ini? Saya tidak kenal kalian” ucap saya. “kami akan membawamu menemui Romo Yai, ini rumah Romo Yai” jawab dua orang itu. “bagaimana saya bisa disuruh Romo Yai untuk menemuinya? Saya saja tidak pernah melihat Romo Yai?” tanyaku kembali. “Romo Yai yang ingin bertemu panjenengan” jawab mereka lagi.
Saya melihat dinding bangunan yang megah itu, warna dinding seperti warna keemasan. Bagunan itu sama sekali tidak tampak tiang. Ubinnya terlihat begitu luas, lalu saya bertanya kembali “luas sekali bangunan ini? Lalu dimana Romo Yai?” saya terus bertanya. “mari saya tunjukkan kamar Romo Yai” Saya pun mengikuti.
Tiba-tiba saya terbangun dari tidur, dan saya sadar itu semua hanya mimpi. Saya bercerita kepada Ustadzah Elis tentang mimpi itu. Saya tidak tahu tempat apa tadi, apakah tadi itu adalah tempat Romo Yai beristirahat di Surga. Karena bangunannya tidak seperti bangunan pada umumnya, bangunannya menjulang tinggi tanpa tiang dengan warna tembok keemasan dan lantainya yang sangat luas sampai saya tidak menemukan ujung lantai.
Ustadzah Elis pun cerita, “Ustadzah, sungguh Romo Yai adalah sosok yang welas kepada siapapun, kalau mimpi bertemu Romo Yai. InsyaAllah pertanda baik dan jarang pula orang bisa mimpi Romo Yai”. Betapa merinding mendengar sekecap kalimat dari bibir Ustadzah Elis, mata saya berkaca-kaca.
Ustadzah Elis pun menjelaskan sedikit tentang keutamaan Sholawat Husainiyah yaitu apabila Sholawat Husainiyah dibaca maka akan dimudahkan rizqinya, akhlaknya jadi baik dan indah, dimuliakan derajatnya, terhapus dosanya, dan masih banyak lagi.
“Ustadzah saya mau dipinjami kitabnya” pinta saya. Dan Ustadzah Elis memberikan kitabnya untuk dipinjam.
Esok harinya saya diberi kitab Sholawat Husainiyah dari MI. “Alhamdulillah tidak usah beli” pikirku.
Siangnya seperti biasa, setelah nderes qur’an, saya mulai membaca Sholawat Husainiyah. Ternyata di halaman paling depan terdapat fadhilah membaca Sholawat Husainiyah. (Lebih jelasnya silahkan dibaca di Sholawat Husainiyah tentang fadhilahnya). Kurang lebih seperti yang dituturkan Ustadzah Elis kepada saya.


0 komentar:

Posting Komentar