Setelah
lulus kuliah, saya bingung. Mau dikemanakan arah, keinginan dan tujuan hati
ini. Alhamdulillah puji syukur karena saya lulus 3,5 tahun, Allah SWT
memberikan saya waktu untuk berpikir. Saya mencoba apa yang saya bisa, waktu
itu pendaftaran S2 belum dibuka. Akhirnya saya melamar pekerjaan mengajar
sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah di berbagai Madrasah atau Sekolah Dasar di
Surabaya. Saya asal dan lahir di Gresik, sejak kuliah saya merantau ke
Surabaya. Yang menjadikan alasan saya untuk melamar pekerjaan di Surabaya
karena saya ingin punya pengalaman di lain tempat, jauh dari orang tua bukan
penghalang karena saya bisa pulang meskipun rasa rindu selalu menghampiri… Selalu.
Rindu yang tak tau waktu, tak tau tempat, selalu hinggap. Kadang saya kesal.
Karena setiap rindu, darah putih ini menetes dari tempatnya yang indah.
Dimanapun
dan lembaga apapun yang menerima saya itulah yang terbaik dan saya akan pilih…
Al-fithrah.
Saya
mendapat pesan dari Al-fithrah. Akhirnya setelah beberapa waktu, saya dipanggil
untuk mengikuti tes. Akhirnya saya datang untuk mengikuti tes. Saya datang dari
arah kampus, dengan google map saya
menemukan sekolahnya. “sekolahnya besar sekali” dalam hati bicara sendiri. Saya
masuk melewati pagar, pak satpam menyapa dengan tersenyum.
“Mari
pak” saya menyapa.
“Mari
ustadzah” sapa pak satpam kembali.
Dalam
hati bicara “ohh jadi kalau di sini di panggil ustadzah, bagaimana kalau saya nanti
diterima?. Memang kata ustadzah dalam Bahasa Indonesia berarti guru. Tapi saya
pikir panggilan ustadzah tidak cocok dengan saya, saya masih belum paham
tentang agama. Saya tidak pernah menempuh pendidikan di pondok walaupun di
rumah pernah mengaji dengan ustadz di kampung. Tapi kan berbeda kalau di
pondoknya langsung”
Sempat
ragu, tapi saya berpikir ini adalah kesempatan tertunda saya dulu waktu Aliyah
atau biasanya disebut Sekolah Menengah Atas (SMA). Akhirnya saya memasuki ruang
kantor Thoriqoh Pondok.
“Assalamualaikum ustadz” saya salam dengan tersenyum kepada ustadz di dalam
ruang kantor. “Mbak Ikrima ya? Yang mau tes? Ditunggu yang lainnya dulu ya
mbak” kata ustadznya. Saya masih belum tahu nama ustadz tadi. Akhirnya saya
duduk di depan ruangan, menunggu yang lainnya yang mengikuti tes hari ini.
Setengah
jam kemudian… Bagi saya, waktunya sangat molor sekali dari perkiraan. Saya
sedikit tidak suka dan sedikit merubah kondisi hati saya karena saya terbiasa
disiplin dalam hal waktu. Tes ini ada 3 macam: tes wawancara, tes mengaji dan
tes mengajar di kelas. Saya mendapatkan urutan terakhir untuk tes wawancara.
Sempat menggerutu “mengapa tidak berdasarkan kehadiran yang lebih awal saja?”.
Waktu itu saya sangat bosan. Yang saya lakukan hanya duduk-duduk melihat
santri-santri lewat ke sana ke mari. Main hape. Ngobrol-ngobrol dengan yang
lainnya supaya saling kenal.
Akhirnya
giliran saya wawancara. Saya masuk ke dalam ruang kantor. Ustadznya tersenyum.
Dalam hati “ustadznya senyum-senyum, saya sudah menunggu kehadiran peserta tes
yang lain sudah setengah jam ditambah menunggu giliran masuk untuk tes
wawancara”. Di luar sangat panas karena letak pondok Al-fithrah dekat dengan
laut membuat saya sedikit jengkel”
Ustadz
mulai menyuruh saya memperkanalkan diri. “seperti wawancara biasanya saya
menyebutkan nama dan latar belakang saya”
Kemudian
ustadz menanyakan apa kelebihan saya. Saya menjawab “saya terbiasa disiplin
ustadz”.
Ustadz
pun balik bertanya “tadi nunggunya lama ya?, waktunya molor sekali”.
Saya
hanya tersenyum.
“saya
minta maaf ya mbak (sambil tersenyum, ustadznya memberikan saya air putih) ini
tanda minta maafnya ya mbak, tadi tidak ada yang dikasih air putih loh mbak
(sambil senyum-senyum sendiri)”.
“terimakasih
ustadz” jawab saya.
Saya
kembali ditanya “ini apa mbak kok djarum? Mbak pernah kerja di djarum?”
“bukan
tadz.. itu beasiswa yang pernah saya dapat” jawab saya bersemangat. Entah
kenapa saya selalu bersemangat ditanya tentang beasiswa ini. Karena di djarum
lah saya mengenal orang-orang hebat. Mendapatkan pengalaman yang luar biasa
sekali.
“gimana
mbak itu kok bisa dapat? tirakatnya apa mbak?”
(saya
sedikit tertawa lepas, lalu saya tahan supaya tidak bertambah keras karena
masih dalam tes wawancara)
“pertanyaan
lagi ya mbak? ini sertifikat apa mbak?” (sambil menunjukkan fotokopi sertifikat
yang berada di tangan ustadznya.
“itu
sertifikat lomba debat ustadz, kelompok saya menjadi juara debat di acara
pelatihan Djarum Foundation”
“waduh,
saya jadi takut kalau begitu. Kita akhiri saja wawancaranya, saya takut debat
dengan mbaknya. Cara ngomongnya saja sudah menakutkan”
(saya
semakin ketawa). Ternyata wawancaranya seru.
Setelah
selesai, saya menuju keluar pintu untuk segera ke MI nya. Untuk tes mengajar.
Akan tetapi saya di panggil seorang ustadz untuk melakukan wawancara lagi
dengan kepala pondok. Saya ditanya.
“asli
mana mbak?” tanya ustadznya.
“Gresik
ustadz” jawab saya
“Gresik
mana? Istri saya juga Gresik” ustadznya menjelaskan.
“Saya
Benjeng ustadz” sambil tersenyum.
“Benjeng
itu banyak jamaahnya Romo Yai”
(Aku
merengut, berpikir “jama’ah itu apa? Jama’ah sholat? Romo Yai? Siapa Romo Yai?
Saya sama sekali tidak tahu dan asing dengan kata tersebut, akhirnya saya hanya
membalas senyuman).
“Sampean
tahu pendiri pondok ini siapa?”
(waduh
siapa ya, dan secara tidak sadar, benar-benar tidak menyangka bibir ini
berkata) “Yai Rori” Saya tidak tahu nama panjang Yai Rori itu siapa. Saya hanya
pernah dengar nama itu.
Tiba-tiba
ustadz yang mewawancarai manggut-manggut setuju dengan jawaban saya.
Saya
kembali bertanya “loh, apa benar ustadz?”
“benar”
jawa ustadz.
Setelah
selesai wawancara saya mengingat-ingat kembali, bagaimana saya bisa langsung
menyebut nama Yai Rori. Saya tidak tahu Yai Rori itu siapa sebelumnya.
Saya
pun pulang.
Dalam
2 minggu saya menunggu pesan dari al-fithrah apakah saya diterima atau tidak.
Tapi tidak kunjung mendapatkan kabar baik. Akhirnya saya berpikir untuk
mengambil formulir pendaftaran S2 saja. Dua hari setelahnya, ternyata saya
mendapat pesan lagi bahwa saya diterima di Al-fithrah.
Perasaan
campur aduk kini kembali membuat pusing kepala. Bagaimana dengan S2 saya ini?
Akhirnya saya bertanya ke ibu dan ayah saya. “Mondoklah, biar dekat dengan Sang
Pencipta”. Selama ini saya belum pernah merasakan suasana dan belajar di
pondok. Saya akhirnya manut dengan ayah dan ibu. Semoga ini pilihan terbaik. S2
bisa kapanpun.
Tahun
ajaran baru datang. Asaatidz dan asaatidzah berkumpul untuk menyiapkan rencana
pembelajaran ajaran baru. Saya mengikuti dengan menyimak. Ini rapat pertama
saya. Saya selalu bertanya apa-apa yang tidak saya pahami tentang MI nya,
tentang pondoknya, bahkan saya ingin tahu tentang Romo Yai lebih dalam.
“Nama
Pondok ini ternyata sudah saya kenal sebelumnya, tetapi saya tidak tahu di mana
tempatnya. Saya pernah ikut haul di pondok sini, tapi saya tidak tahu pondoknya
di sebelah mana, karena waktu itu saya duduk ngemper di warung dekat gang.
Setelah acara selesai saya langsung pulang. Karena jumlah orang-orang yang
mengikuti haul luar biasa padatnya. Membuat saya wegah kesana kemari dan
memutuskan untuk pulang saja bersama teman saya. Sejak saat itulah saya tidak
ikut haul lagi, karena wegah”.
Sedikit
cerita saya ke ustadzah Elis, Ustadzah MI. “itu yang namanya jama’ah dzah Rima.
Jama’ah itu adalah pengikut ajarannya Romo Yai, ikut Haul, dan lain
sebagainya”. Saya sedikit flashback pada
saat tes wawancara “ohalah, ini toh yang namanya jama’ah” saya masih agak
sedikit kaku apabila saya dipanggil dengan sebutan ustadzah. Tapi mencoba
membiasakan.
AHAD KEDUA
“Ahad
kedua itu apa ustadzah?” Tanya saya kepada ustadzah Elis.
Ustadzah
Elis yang sering sekali saya tanya tentang apapun kegiatan di pondok.
Alhamdulillah beliau tidak pernah bosan menjawab, justru terlihat bahagia dan
haru untuk menceritakan tentang pondok maupun tentang Romo Yai.
“Ahad
kedua itu minggu kedua pada bulan menurut kalender Islam, tapi tidak setiap
bulan. Ahad kedua ini hanya empat kali dalam setahun” Ustadzah Elis
menjelaskan.
Dan
kebetulan pada saat masuk mengajar di Al-fithrah bertepatan dengan adanya ahad
kedua. Saya pun mengikuti bersama anak-anak dan para ustadzah lainnya. Setelah diterima
di Al-rithrah, saya ditempatkan di asrama mengasuh anak-anak MI yang mondok di
asrama. Kami berjalan menuju masjid bagian perempuan. Supaya tidak bercampur
antara laki-laki dan perempuan, maka diberi sket atau pemisah yang terbuat dari
besi dan ditutup kain putih. Di pondok sini memang ciri khas dengan warna
putih. Saya bertanya-tanya “mengapa warna putih? Padahal Rasulullah sangat suka
sekali dengan warna hijau”
Dijelaskan
sedikit oleh seorang ustadz yang pernah saya tanya-tanya tentang ilmu agama.
Dalam hidupnya Rasulullah SAW sangat menyukai warna hijau, Rasulullah SAW juga
sering sekali memakai surban berwarna hijau. Oleh karena itu, untuk menghormati
Kanjeng Rasul, maka para Ulama’ ada beberapa yang tidak mau memakai surban
hijau. Karena menghormati Kanjeng Rasul.
Saya
selalu bertanya dengan ustadz maupun ustadzah di pondok, tapi jawabannya selalu
sama “ciri khas dan nderek (bahasa Indonesia: ikut) Yai ” saya masih belum
puas, saya kira itu bukan jawaban dari pertanyaan yang saya maksud. Suatu
ketika saya mendengarkan mauidhoh atau ceramah dari KH. Abdul Kholiq Hasan Pengasuh
Pondok Pesantren Al-Amanah Jombang. Beliau menjelaskan tentang pakaian putih.
“Tatkala
sahabat-sahabat Rasulullah duduk-duduk di sekitar rasulullah. Pada suatu hari tiba-tiba
datang seorang laki-laki di tengah-tengah para sahabat yang memakai pakaian
yang sangat putih (inilah yang kemudian para ulama’ atau kyai ada yang fanatik
dengan warna putih apabila pergi ke majlis ta’lim) dan sangat hitam rambutnya.
Tidak dilihat dari mana orang itu datang dan tidak ada salah satu pun dari para
sahabat yang mengenalnya. Sehingga laki-laki asing itu duduk di dekat Rasulullah
SAW, kemudian merapatkan kedua lututnya dan bersentuhan dengan rasullah SAW.
Dan meletakkan kedua tangannya di atas pupu atau paha Rasulullah SAW. Dalam ilmu
tasawuf ada yang berpendapat bahwa laki-laki asing tersebut mentransfer ilmu.
Kemudian laki-laki itu bertanya kepada Rasulullah SAW apa itu iman? Apa itu
islam dan apa itu ihsan? Kemudian semuanya dijawab oleh Rasulullah SAW. Setelah
Rasulullah SAW menjawab, lelaki itu berkata “shodaqta, kamu benar” entah apa
maksud laki-laki itu bertanya seperti itu padahal sepertinya lelaki itu sudah
mengetahui jawabannya.”
Inilah
alasan mengapa Romo KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi ra. sering menggunakan pakaian
putih, sebab lain yaitu karena Romo Yai sendiri suka dengan warna putih. Putih
memiliki arti netral, suci dan sederhana. Di balik itu Romo Yai mengajarkan
kita agar mempunyai sifat sederhana dalam hati agar ketika beribadah hati bisa
ditata dengan khusyu’.
Setelah
sampai di masjid dengan kubah yang berwarna biru dan yang tak berpintu. Saya,
asaatidzah dan anak-anak duduk berbaris memenuhi shaf di masjid. Setelah acara
selesai, saya menemui ibu dan ayah saya yang juga mengikuti Ahad kedua ini.
Saya duduk di samping ibu. Ayah saya berada di masjid dan ibu saya saat itu
berada di lapangan karena masjid sudah penuh oleh jama’ah. Sambil cerita
tentang kegiatan baru yang saya lakukan di Al-fithrah, saya juga mendengarkan mauidhoh
dari Habib Quraish Baharun.
Habib
Quraish bercerita, “sebelum saya berangkat ke sini, ke Pondok Pesantren
Assalafi Al-fithrah Surabaya. Saya mimpi bertemu dengan Hadrotusy Syaikh Ahmad
Asrori Al-ishaqi ra. beliau menyampaikan kepada saya supaya jangan putus
membaca Sholawat Husainiyah. Apabila kamu tidak sempat atau tidak bisa
membacanya, maka bawalah. InsyaAllah Barokah.” Singkat cerita dari Habib
Quraish membuat saya ingin tahu apa itu Sholawat Husainiyah? Dan Bagaimana
bentuknya?
Saya
kembali bertanya lagi kepada Ustadzah Elis “Ustadzah, Sholawat Husainiyah itu
yang bagaimana?”
Ustadzah
Elis mengambilkan Sholawat Husainiyah “Ini dzah Rima, Sholawat Husainiyah itu
ini, membacanya dari sini sampai selesai”
Saya
diberikan Ustadzah Elis Sholawat Husainiyah tapi saya menolak “besok saja lah
dzah, saya bacanya. Saya lagi males” jawab saya jujur.
Keesokan
harinya, Hari Senin, setelah pulang sekolah. Seperti biasa asaatidz dan
asaatidzah semuanya nderes qur’an (Bahasa Indonesia: baca simak al-qur’an).
Setelah selesai nderes qur’annya, tibalah hati saya terketuk ingin membaca
Sholawat Husainiyah.
Di
rak-rak al-qur’an kantor MI terdapat beberapa Sholawat Husainiyah, tanpa pikir
panjang saya membaca Sholawat Husainiyah sesuai yang sudah diberitahukan
Ustadzah Elis kemarin malam. Saya baca dengan tenang, karena di kantor juga
sudah sepi. Saya baru pertama kali membacanya, kalimat-kalimatnya bagi saya
susah untuk dibaca cepat. Akhirnya saya baca pelan saja. Hingga halaman akhir
saya mengucap alfaatihah.
Saya
letakkan kembali Sholawat Husainiyah di tempat rak kantor. Saya mengambil tas
dan keluar dari kantor menuju asrama untuk beristirahat sebentar. Tiba di
asrama saya ngobrol-ngobrol sedikit dengan asaatidzah di asrama sampai tidak
sadar saya pun tertidur pulas.
Dalam
tidur, saya bermimpi dengan dua orang. Satu laki-laki dan satunya perempuan.
Dua orang tersebut mengajak saya ke suatu tempat seperti masjid. Akan tetapi
masjid tersebut sepi, tidak ada satupun orang kecuali kita bertiga. Dua orang
tadi menarik tangan saya. “mau diajak ke mana saya ini? Saya tidak kenal
kalian” ucap saya. “kami akan membawamu menemui Romo Yai, ini rumah Romo Yai”
jawab dua orang itu. “bagaimana saya bisa disuruh Romo Yai untuk menemuinya?
Saya saja tidak pernah melihat Romo Yai?” tanyaku kembali. “Romo Yai yang ingin
bertemu panjenengan” jawab mereka lagi.
Saya
melihat dinding bangunan yang megah itu, warna dinding seperti warna keemasan.
Bagunan itu sama sekali tidak tampak tiang. Ubinnya terlihat begitu luas, lalu
saya bertanya kembali “luas sekali bangunan ini? Lalu dimana Romo Yai?” saya
terus bertanya. “mari saya tunjukkan kamar Romo Yai” Saya pun mengikuti.
Tiba-tiba
saya terbangun dari tidur, dan saya sadar itu semua hanya mimpi. Saya bercerita
kepada Ustadzah Elis tentang mimpi itu. Saya tidak tahu tempat apa tadi, apakah
tadi itu adalah tempat Romo Yai beristirahat di Surga. Karena bangunannya tidak
seperti bangunan pada umumnya, bangunannya menjulang tinggi tanpa tiang dengan
warna tembok keemasan dan lantainya yang sangat luas sampai saya tidak
menemukan ujung lantai.
Ustadzah
Elis pun cerita, “Ustadzah, sungguh Romo Yai adalah sosok yang welas kepada
siapapun, kalau mimpi bertemu Romo Yai. InsyaAllah pertanda baik dan jarang
pula orang bisa mimpi Romo Yai”. Betapa merinding mendengar sekecap kalimat
dari bibir Ustadzah Elis, mata saya berkaca-kaca.
Ustadzah
Elis pun menjelaskan sedikit tentang keutamaan Sholawat Husainiyah yaitu
apabila Sholawat Husainiyah dibaca maka akan dimudahkan rizqinya, akhlaknya
jadi baik dan indah, dimuliakan derajatnya, terhapus dosanya, dan masih banyak
lagi.
“Ustadzah
saya mau dipinjami kitabnya” pinta saya. Dan Ustadzah Elis memberikan kitabnya
untuk dipinjam.
Esok
harinya saya diberi kitab Sholawat Husainiyah dari MI. “Alhamdulillah tidak
usah beli” pikirku.
Siangnya
seperti biasa, setelah nderes qur’an, saya mulai membaca Sholawat Husainiyah.
Ternyata di halaman paling depan terdapat fadhilah membaca Sholawat Husainiyah.
(Lebih jelasnya silahkan dibaca di Sholawat Husainiyah tentang fadhilahnya).
Kurang lebih seperti yang dituturkan Ustadzah Elis kepada saya.
0 komentar:
Posting Komentar