The last
day without you, Mr.Rain
Aku
duduk di bangku kelas 3 SMP, Upacara bendera akan segera di mulai, siswa pun
segera berkumpul di lapangan sekolah, hari itu tampak mendung, tapi aku pun
tidak tau apa yang akan terjadi nantinya, mungkin hujan atau bahkan
kebalikannya. Langit pun mulai menghitam seluruhnya, benih tetesan air mulai
menetes dari langit kejauhan sana dan turun ke bumi, semua siswa maupun siswi
panik, dan kembali ke kelasnya masing-masing, semua yang berada di luar kelas
kini masuk ke dalam ruangan membuat kelas semakin sempit dan ramai, karena
suara anak-anak yang tak bisa diam.
Hatiku
mulai merasa bingung, kenapa? Entah !! aku juga tak begitu mengerti dengan apa
yang terjadi saat ini. Aku ingin pulang. Aku merasa ada yang mengganjal, tapi
apa yang harus aku lakukan mungkin saat ini tidak bisa terwujud, karena aku
berada di sekolah yang dituntut untuk belajar.
Mata
pelajaran terakhir telah dimulai, aku berharap jam pelajaran ini cepat selesai,
dan aku ingin segera pulang. Hingga pelajaran terakhir selesai dan aku pergi
melangkah menuju halte bus, tampaknya ada seorang laki-laki yang menjemputku,
aku tahu itu adalah ayahku, tapi kenapa ayah tiba-tiba datang menjemputku?? Aku
hanya tersenyum melihat ayah dari kejauhan. Atau mungkin ayah menjemputku
karena hari ini adalah hari selamatan nenekku yang ke-40 harinya. Ya mungkin
begitu.
Ayah
membalas senyumku, dan memberi tanda supaya berjalan lebih cepat lagi, aku pun
berjalan secepat mungkin, bahkan berlari kecil. Ayah mengajakku pergi ke rumah nenek
yang berada di desa sebelah, hampir waktu itu rasa sedih sudah hilang karena
kepergian nenek, aku merasa senang karena nantinya akan bertemu dengan keluarga
besar dan saudara-saudaraku di sana.
Aku
duduk di teras bersama 2 teman atau 2 sahabat sekaligus 2 saudaraku, dia Mr.
Rain (Mas Dian) dan miss big bang (Mbak Tutus), aku memang akrab dengan mereka,
kemana-mana selalu bersama, hampir tidak dapat dipisahkan, tapi jaraklah yang
memisahkan kita sehingga tidak bisa ketemu setiap hari. Hmmm... rasanya pengen
bisa dekat dengan mereka. Duduk dan mendengarkan lagu memang cara kita
menghilangkan jenuh, Aku dan mbak Tutus hanya diam menatap mas Dian yang sedang
mencuci motornya, mas Dian berkata “ini cuci motor terakhirku”. Tapi aku
menganggap hanya seperti biasa saja, tidak ada hal yang terjadi selanjutnya,
karena memang yang aku pikir dia akan mendapat motor baru dari ayah kandungnya
setelah lama bercerai dari ibunya, dan kini ibunya telah memiliki suami lagi.
Mungkin yang dirindukan mas Dian adalah kasih sayang ayah kandungnya. Sebagai
adik, aku merasa senang karena telah dipertemukan kembali dengan ayah
kandungnya. Kemudian kami menyanyi bertiga. Lagu “semua tentang kita”
“peterpan”.
Namun
esoknya, hal pahitpun terjadi, entah bagaimana kejadiannya aku sendiri tidak
tahu persis. Yang aku tahu hanya mas Dian tabrakan dan aku hanya bisa menjenguk
di luar ruangan rumah sakit, melihat mas Dian dengan beberapa kabel di dadanya.
Aku sesenggukan, tapi aku yakin dia akan kembali seperti semula. Setelah tiga
hari berbaring di rumah sakit, dia mulai siuman dan mulai melihatku yang saat
itu diperbolehkan dokter masuk ke dalam ruangan. Alhamdulillah, akhirnya sadar
juga, tapi dia belum bisa di ajak berkomunikasi karena kondisinya yang lemah.
Tapi aku bersyukur kepada Allah, semakin hari kondisi mas Dian pun semakin
baik.
Malam
hari sesudah aku sholat isya’ , mas Dian memanggil namaku. Perkembangan yang
pesat. Aku pun bersyukur mengucap hamdalah.
Setelah
beberapa jam kemudian aku melihat mas Dian kualahan bernafas, aku memanggil
dokter supaya di beri oksigen. Tapi gagal, mas Dian meninggal. Badanku terasa
down, lemas, dan bahkan ingin pingsan. Aku memeluk mas Dian, kenapa ini terjadi
pada masku, kenapa orang muda harus didahulukan, kenapa tidak orang yang tua
yang duluan? Aku menangis, mungkin aku menyesal dengan takdir tuhan, tapi
seseorang merangkulku, ayah kandung mas Dian. Aku menjadi sedikit lebih tenang.
Ya tuhan, kenapa harus masku yang diambil, ya tuhan jika kau mengijinkan
bisakah kau tukar dengan nyawa orang lain?. Tapi aku juga tidak menyalahkan
tuhan, tuhan maha benar, tuhan mengerti tentang kehidupan dunia, sedangkan aku
hanya budak kecil yang tak bisa berbuat semampu dengan tuhannya. Ya tuhan, aku
hanya hambamu, ya tuhan maafkan aku yang menyalahkanmu ya tuhan, aku hanya
ingin masku kembali hidup, tapi itu tidak mungkin, tapi jika tuhan mengijinkan
untuk memberinya hidup lagi, aku akan bersyukur lebih dari aku bersyukur selama
ini.
Aku menunggu mas Dian untuk kembali hidup normal lagi, aku seperti
orang gila, aku mungkin gila dengan kenyataan pahit ini. Ibuku kembali
mengingatkan aku, “hanya allah yang tahu takdir kita, umur kita, kematian kita,
rizqi kita, bahkan jodoh kita, allahlah yang mengatur semuanya, serahkan semua
kepada allah, dan bahwa manusia akan menghadap allah kembali”. Dari itu aku
mulai berpikir untuk bisa bertemu di akhirat dan berkumpul di sana nantinya.
Aku
mengantar jenazah mas Dian ke tempat terakhirnya, di situ juga terakhir kali
melihat wajahnya.
Aku
berharap tuhan bisa menjemput nyawaku dengan cepat supaya bertemu dengan mas
Dian, tapi kenapa allah tidak menjemputku juga, ya tuhan aku ingin bertemu
dengan mas Dian, ya tuhan aku kangen mas Dian. Tapi bagaimana dengan ayah
ibuku, pasti mereka merasa kehilangan. Aku mencoba menerima segala apapun yang
terjadi saat ini, tapi itu sulit.
Lagu
yang akan mengingatkan tentang kisah kita bertiga, lagu peterpan, semua
tentang kita. Duduk di teras dan aku ingat saat itu adalah hari diamana dia
ingin mengungkapkan sesuatu, tapi itu tidak di sadari oleh kita.
Waktu terasa semakin berlalu..
Tinggalkan cerita tentang kita....
Tak kan tiada lagi kini tawamu..
Tuk hapuskan semua sepi di hati...
Ada cerita tentang aku dan dia...
Saat kita bersama..
Saat dulu kala..