Ikrima's Blog

Senin, 26 Mei 2014

based true story

DIARY BIRUKU 
by : ikrima





Kulitnya terang. Setidaknya dialah wanita tercantik diantara kami. Rambutnya yang lurus, hitam dan lembut. Ketampanan papa dari blasteran Jerman dan Jawa sepenuhnya diturunkan kepadanya. Papa adalah seorang mu’allaf setelah menikah dengan mama.
          Kami bertiga bersaudara. Kakak, aku dan adik perempuan kami. Kakek (dari papa) kami berasal dari Jawa dan nenek (dari papa) kami adalah seorang wanita dari Jerman. Sedang kakek dan nenekku (dari mama) sudah meninggal sejak mama masih kelas 4 SD. Aku dan adik perempuanku lebih mirip mama. Rambut kami kriting. Kulit kami sawo matang. Inilah yang membedakan kami berdua dengan kakak. Aku pun sesekali cemburu kepada kakak, karena banyak orang memujinya.
          Tapi aku dan adik perempuanku bangga dan menjadikannya sebagai andalan dalam mengerjakan PR Matematika kami. Sikap kakak baik, murah senyum, dan yang menjadi ciri khasnya adalah lesung pipi yang terpancar melalui wajahnya. Wajar saja jika para lelaki ingin menjadikan kakak sebagai kekasihnya.
          Kakak berusia 19 tahun. Dia kuliah di salah satu Universitas terfavorit di provinsi Jawa Timur. Usiaku dengan kakak hanya selisih 3 tahun, begitu juga dengan adikku. Usianya selisih denganku 3 tahun.
          Tinggiku dengan kakak hampir sama. Kami sering bertukar baju. Kehidupan keluarga kami sangat harmonis. Dan hampir tidak pernah melihat mama dan papa bertengkar, berbeda dengan tetangga sebelah kanan rumahku, yang bahkan setiap harinya bertengkar, dan pasti selalu ada masalah yang selalu ingin diperdebatkan. Itulah perkataan temanku, anak tetangga sebelah kanan rumahku. Aku  kasihan kepadanya dan mencoba ingin menghiburnya. Guyonan pun terasa garing, mungkin karena guyonan itu-itu saja yang aku sebutkan. Huh..
          Aku bersyukur mempunyai keluarga seperti ini. Mama dan papa yang selalu merawat kami with love and care, dan saudaraku whom I love.
          Hari ini kakek dan nenek akan ke rumah kami. Yippiii,, pasti nenek dan kakek membawakan oleh-oleh khas dari kampung. Yupz.. inilah kesukaan keluargaku. Gethuk pisang. Kakek dan nenekku sudah satu minggu dirumah kami. Kami pun sangat di manja olehnya. Dan hari ini adalah hari terakhir nenek dan kakek menginap di sini. Yaaahhh...
          “kring.. kring..” telepon rumahku berbunyi. Aku tidak suka dengan bunyi telepon rumahku yang nadanya standard seperti itu saja, berbeda dengan handphone ku yang selalu berbunyi “because of you, I never stray too far from the sidewalk..” lagu dari Kelly Clarkson, my favorite.
          Karena hanya aku yang ada di ruang tamu, terpaksa aku mengangkat telepon itu. “Halo, assalamualaikum, dengan siapa ini?” kataku. “ini dengan pak mamat.. bisa bicara dengan ibu Ratna?” pintanya. “sebentar pak..” jawabku.
          “Mama..ada telepon dari pak mamat katanya..” sedikit berteriak. “pak mamat siapa?” mama bertanya dan menghampiriku. “nggak tau ma,,” balasku.
          Aku kembali duduk dan membaca puisi karangan Chairil Anwar, tokoh legendaris yang sangat terkenal sebagai penyair di nusantara ini.
          Tubuh mama tiba-tiba lemas, dan pingsan..
          “mama.. kenapa ma?” untunglah kakak tidak kuliah waktu itu. Kakak membantuku mengangkat mama ke kursi ruang tamu. Setelah sadar, mama menangis. “kenapa ma?” tanya kakak. Mama menceritakannya..
          Mama dapat telepon kalau nenek dan kakek kalian meninggal saat perjalanan pulang. Kakak dan aku langsung lemas. Kenapa begitu cepat? Tidak ada seorang pun yang tahu tentang kematian.
          Kami sekeluarga secepatnya pergi ke kampung untuk melayat. Tangisan di perjalanan pun tampak di wajah kami hingga tiba di tempat tujuan.
          Sejak saat itu, mama sering melamun.. meskipun kakek dan nenek adalah ibu mertua mama, tapi mama sangat menyayanginya seperti ibu kandungnya.
          Minggu demi minggu, aku lihat sikap mama berubah, papa yang sering ke luar kota, membuatku semakin rindu kepada papa. Dan ingin membicarakan tentang sikap mama yang sekarang menjadi pemarah. Bahkan kakak, anak kesayangan mama pun sering menjadi bahan marahannya. Kasihan kakak..
          Kenapa dengan mama?. Mama sering keluar malam, dan selalu pulang pagi. Mama jarang memperhatikan kami. Sekarang mama lebih suka belanja, makan di restoran tanpa mengajak kami. Aku dan kakak sering memergoki mama bersama laki-laki lain.
          Selasa malam, ketika mama baru pulang, kakak menanyakan kenapa mama akhir-akhir ini berubah sikapnya.
          “ma, kenapa mama pulang malam terus akhir-akhir ini?” tanya kakak.
          “ mama, capek mau tidur.. mama kan habis kerja..” jawab mama.
          Aku hanya bisa menguping dari balik pintu kamar mama karena takut. Dan itulah yang sering dijadikan alasan mama mengapa pulang malam.
          Besok, papa akan pulang, aku dan kakak berencana menceritakan hal ini kepada papa.
          Kami bangun pagi-pagi untuk menjemput papa di bandara, kecuali mama, mama tidak ikut menjemput papa di bandara. Setelah turun dari pesawat, papa keluar dari pintu kaca dan menghampiri kita.
          “anak-anak papa.. ini untuk kalian, ini untuk kakak, ini untuk Jane dan ini untuk adik.” Sambil membagikan masing-masing hadiah kepada kami.
          Setelah satu minggu lebih di rumah, papa duduk di teras rumah sambil minum kopi buatan kakak, kakak ingin memancing pembicaraan mengenai mama, tapi papa selalu mengajaknya bergurau. Ya sudahlah mungkin lain waktu kita bisa membicarakannya kepada papa.
           Tiga hari setelahnya kami berdua berusaha untuk mengatakan ini kepada papa.
          “pa, kami berdua mau ngomong sesuatu sama papa?” kata kakak.
          “ada apa? Uang jajan kalian kurang?” sambil membuka dompetnya.
          “pa, kita berdua serius pa.. !!” pinta kakak
          “iya, apa sayang?” tanya papa
          “pa.. akhir-akhir ini sikap mama berubah sama kita, mama sering keluar malam, mama juga jarang masakin kita pa.. mama tidak peduli seperti dulu lagi pa..!!” kata kakak yang tak berani menatap mata papa.
          “mungkin mama sibuk, mengurus kerjaannya jadi kalian jarang diperhatikan.” Jawab papa.
          Papa selalu positive thinking sama mama.
          Aku memeluk kakak erat, dan kami berdua menangis, kami rindu kepada keluarga kami yang harmonis. Aku dan kakak sengaja menyembunyikan hal ini dari adik bungsu kami. Karena dia masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini.
          Sudah seminggu kami memata-matai mama, tapi kami selalu kehilangan jejak. Kami mencoba esok harinya. Tapi nol hasilnya. Aku memberikan usul kepada kakak. “kak, kita buka-buka hape mama aja, pasti ada sesuatunya” usulku. “ide bagus..”jawab kakak.
          Aku dan kakak sengaja menunggu mama pulang dan segera mengecek pesan dalam handphone-nya. Kali ini sedikit berhasil.. kami berdua menemukan pesan dari seorang laki-laki yang di panggil mama dengan sebutan sayang.
          Benar dugaanku.
          Sejak saat itu, kami bertiga lebih suka mengurung diri di kamar. Kakak yang sering menulisi diary birunya dengan kata-kata, gambar, dan mengungkapkan semua perasaannya disitu.
                             Dear diary biruku,,
                            Aku tahu hidupku sekarang sudah berubah, lebih cepat daripada kepompong menjadi kupu-kupu. Terdiam di keheningan malam. Keadaan ini semakin menikam rasa sesak di dadaku.
                    Tuhan, ku sadari cahayaku semakin redup, sayapku tak mampu lagi menahan berat tubuhku. Bahagiaku terlekang oleh waktu. Kekosongan semakin membuatku terbang tak berarah dan gema “pengkhianatan” terus bersahut di kepalaku. Tuhan bisakah lebih cepat engkau menggantikan keadaan ini dengan keadaan yang bisa membuat kami bertiga bahagia, tuhan..?
          Mama tidak pernah menanyakan keadaan kami, apa kami bertiga baik-baik saja atau tidak... mama seolah lupa dengan kami.
          Dari balik daun cemara, ku lihat papa masih di jendela. Kami menghampirinya. Kali ini menatap kami pilu. Perlahan tetes airmatanya membasahi pipinya, membanjir dan tak terbendung lagi. Tubuhnya semakin kurus bergetar perih melihat kelakuan mama. Papa hanya bisa bersabar. Karena papa tahu, usianya tak lagi mampu bekerja dengan keras. Papa sudah menasehati mama. Tapi mama mengancam tidak akan mengurus kami, tidak akan membiayai sekolah kami berdua, dan sekolah kakak. Mama ingin hidup senang di luar sana daripada menunggu papa yang jarang pulang
        Papa terpaksa membiarkan mama.
        Keluargaku yang semula utuh dan harmonis, kini sudah menjadi kenangan. Papa sakit parah, tidak diketahui penyakitnya secara pasti. Kata dokter itu adalah penyakit dari dirinya sendiri. Ku rasakan rasa sakit papa. Dan ku peluk sayap papa dalam naungan. Naungannya adalah kasihku dan pelukannya adalah bahagiaku.
        Hingga kemudian, tatapan papa menghilang dari hidupku. Papa meninggal. Kami telah kehilangan sosok malaikat dalam kehidupan kami. Sosok papa yang baik dan penuh canda tawa. Dan mama yang pergi entah kemana. Tapi kami sadar bahwa masalah adalah tanda kehidupan.
                                              
        Kakakku yang harus membiayai sekolah kami, kakak banting tulang mengurusi kebutuhan sehari-hari. Aku ikut membantu kakak dengan jualan gorengan keliling kampung. Hidupku memang sudah terbalik 180 derajat. Yang dulu hidup mewah. Kebutuhan tercukupi. Sekarang harus bekerja sendiri. Kami tidak mau dikatakan sebagai P-E-C-U-N-D-A-N-G yang setiap harinya hanya bisa menangis. Kata negative itu selalu kami jadikan semangat dalam menjalani hidup.
        Aku ke kamar kakak. Aku melihat selembar surat dari rumah sakit Wijaya Kusuma yang aku kunjungi beberapa waktu lalu bersama kakak. Disitu tertulis aku positive mengidap penyakit Embolus yaitu penyumbatan arteri menuju otak oleh gumpalan darah.
        Aku tidak seberapa tahu dengan penyakit ini. Aku berpikir bahwa hidupku tidak akan lama lagi.
        Kakak yang sekarang sudah menjadi sarjana, menjadi orang yang  berhasil dan mengangkat derajat kehidupan kami. Kami memang beruntung mempunyai seorang kakak seperti kak Nadia.
        Kak Nadia sudah berusia 21 tahun, itu artinya kak Nadia sudah dewasa, dan akan menikah. Tapi kakak tidak mau menikah. Alasanya hanya trauma dengan pernikahan almarhum papa dan almarhumah mama. Padahal para lelaki sudah banyak sekali yang melamar kakak, tapi tak seorang pun diterimanya.
        Aku mencoba membujuk kakak untuk segera menikah. Tapi kakak tidak mau. Kakak merasa kasihan denganku. Dengan penyakit yang ku derita.” Jika kakak menikah, maka tidak ada yang memperhatikanmu seperti dulu lagi.” jelasnya.
        “kak... aku sudah besar, usiaku sudah 18 tahun, itu artinya aku bukan anak kecil lagi, kak..”
        “nggak, kakak lebih nyaman hidup seperti ini, daripada menikah dengan orang lain yang belum tentu baik” sahut kakak.
        “kak, ingatlah yang selalu diajarkan papa kepada kita yang harus selalu positive thinking !“
        “positive thinking memang perlu di tanamkan, tapi negative thinking juga harus ditanamkan, itu sebagai bentuk kewaspadaan kakak” jelasnya.
        Aku menunduk tak bisa berkata.
        Esoknya aku melihat dari balik jendela kamarku yang berdekatan dengan ruang tamu, “kakak.. ada cowok ganteng kak,,” kata adik bungsuku yang sudah menginjak remaja.
        “siapa?”
        “lihat aja sendiri.. kayaknya temen kak Nadia deh..”
        “ih cie.. kakak, sudah sana temuin dia, biar aku yang ngelanjutin cuci piringnya” bujukku sambil menggoda.
        Semoga kakak cepat di buka hatinya untuk menikah. Amiin..
        Aku mengintip dan mendengar pembicaraan kakak dan bang Reza, teman kak Nadia. Kakak menolak lamaran lagi. Kakakku trauma berat. Meskipun begitu, bang Reza tetap akan menunggu kakak sampai kapanpun..
        So sweet. Kenangan yang lalu sudah tak pernah teringat lagi di keluarga kecil kami dan hampir sudah pupus. Perlahan aku membujuk kakak. Tapi kakak tidak menghiraukan..
        Aku menulis surat..
                             Kak, maaf jika aku selama ini selalu merepotkan kakak. Maaf jika selama ini aku ada salah sama kakak. Mungkin umurku sudah tinggal menghitung beberapa bulan lagi. Aku ingin kakak bahagia jika aku sudah tiada. Aku ingin kakak segera menikah.
        Itulah surat pendek untuk kakak yang kuselipkan di bantal kesayangannya. Aku tahu kakak juga mencintai bang Reza. Tapi kakak tidak mau menerima pinangannya.
                                              
        Setelah beberapa hari, kakak memutuskan untuk menerima lamaran dari bang Reza dan kemudian akan menikah dan bahagia.
        Aku terharu melihat keputusan kakak. Meskipun mama sudah pergi dan mungkin tak kan pernah kembali.
        Pernikahan pun menanti. Esok. Aku bahagia melihat senyum manis kakak. Pernikahan yang sederhana tapi penuh arti kehidupan.
        Esok tiba saatnya. Kakak menikah. “Alhamdulillah..” syukurku. Tak di sangka juga mama datang ke pernikahan kakak. Mama minta maaf kepada kami. “Kami sudah memaafkan mama dari dulu” jawab kakak. Kak Nadia memang baik dan cantik, hati maupun parasnya diantara kami. Kami bangga sama kak Nadia. Kak Nadia juga menceritakan kepada mama bahwa papa sudah meninggal. Mama menangis penuh sesal. Mama menyesali segala perbuatannya. Mama menangis sesenggukan, dan kami juga. Kak Nadia menghibur mama. Tapi mama masih merasa berdosa karena telah selingkuh di belakang papa.
        Pernikahan sudah di mulai dan kakak sudah menjadi istri sah bang Reza.
        Kepalaku sakit, terasa mual di perut. Badanku lemas.. darah sedikit demi sedikit mengalir dari lubang hidungku. Aku pingsan.
        Aku kembali sadar,dan aku berada di pangkuan mama. Aku merindukan kasih sayang dan pelukan mama. Sampai aku memudarkan sayapku di dekapan lengan terbuka mama.  Aku meninggal dalam dekapannya.
        Aku ingin menjadi kunang-kunang kecil di tengah-tengah keluarga kami. Mencoba mengilaukan sinarnya yang dulu redup. Dan aku bisa pergi dengan bahagia dan tenang sekarang..

0 komentar:

Posting Komentar